Sabtu, 09 Januari 2016

HUJAN (story)



Tercium aroma wangi tanah kering tersiram hujan, menyerbak, menusuk hidung, menusuk kalbu. Entah mengapa, setiap hujan datang, aku merasa lain, senang, sedih, gundah, bahagia, entahlah. Tapi yang aku tau, saat hujan datang, berarti kenangan itu kembali lagi. Kenangan yang tak seharusnya ku ingat namun selalu terkenang dalam lubuk hati.

Saat itu musim penghujan, dedaunan basah, langit menghitam, tak ada cahaya, tak ada penghangat, taka ada apapun untuk menghangatkan dan menenangkan. Semuanya kelam. Menghitam. Berkabut. Dingin menusuk tulang. Tapi, dalam satu kesempatan, aku bsia merasakan kasih sayang, kehangatan.

Aku selalu senang saat hujan turun, itu berarti, aku bisa mengenang kisahku , mengenang kisahku bersamanya. Dia, lelaki yang ku puja, ku kasihi, dan namanya selalu ku lantunkan dalam setiap do’a – do’a ku.

Saat itu, tanggal yang selalu ku ingat 5 November 4 tahun silam,  tanggal dimana aku bertemunya pertama kali dibawah rinai hujan. Aku bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak pernah kuduga, namun aku tau Tuhan telah merencanakan ini semua. Saat aku berjalan di tengah derasnya huajan, aku melewati sebuah kedai makanan dan minuman hangat. Aku berniat mampir untuk sekedar minum susu jahe untuk menghangatkan tubuh barang sejenak. Saat aku sedang enak menikmati menu yang ku pesan tadi, ada seorang lelaki berparas tampan dan bertumbuh tegak masuk kedalam kedai sambil membawa tas beerukuran besar, aku pun tak bisa melepas pandangku dari dirinya. Bukan karena aku terpesona oleh ketampanannya, namun aku hanya merasa heran, siapa orang itu, sepertinya baru ku lihat, dan mengapa dia membawa tas berukuran besar. Karena merasa takut dengan orang itu, aku berusaha secepatnya menghabiskan susu jahe ku yang tersisa setengah gelas lagi. Setelah menghabiskan setengah gelas susu jahe tadi aku bersegera mengambil payung yang tadi kugunakan dan segera keluar. Namun sepertinya, dia menyadari gerak gerik ku. Saat aku hendak keluar, tiba – tiba dia berdiri di depan dan menghadang jalan ku, lalu dia berkata “ maaf nona, saya baru di kampung ini, saya ingin menemui teman saya, dia tinggal di alamat ini” (sambil menyodorkan secarik kertas lusuh karena terkena air hujan). Aku bingung bercampur kaget, “ ternyata dugaanku salah. Ku kira dia orang jahat yang memata – matai kampung ini “ pikir ku. Saat aku melamunkan dugaan ku yang tidak – tidak dia menyadarkan lamunan singkat ku dengan menpuk tangan ku. Aku terlonjak kaget, segera aku tersadar dan langsung  mengambil secarik kertas dari tangan pemuda itu. Aku membaca benar – benar alamat yang tertulis dalam kertas itu, untuk kesekian kalinya, aku terlonjak kaget. Ternyata alamat itu adalah alamat tetangga ku. Teman baik ku. Segera aku memberi tahunya jika aku tau tempat itu dimana dan langsung membawanya ke alamat itu. Semula dia takut untuk ikut dengan ku, namun saat aku menyebutkan nama “Rian” – nama teman baik ku -  dia langsung patuh dan ikut bersamaku. Sepanjang perjalan, tak banyak yang kami bicarakan, kami lebih banyak diam dengan pikiran masing – masing.

Sampai ditujuan kami. Aku langsung memanggil pemilik rumah. Rian  keluar. Setalah itu aku meninggalkannya bersama Rian, dan dia mengatakan “TERIMAKASIH” (sambil tersenyum). Entah apa arti senyuman itu, mungkin baginya itu hanya senyum ramah yang melantukan terimakasih yang tulus, namun bagiku, senyuman itu tak sekedar senyuman tanda terimakasih. Entah mengapa aku berfikiran sampai sejauh itu, padahal aku baru berjumpa dengan nya.

Hari berlalu, karena aku berteman baik denga Rian, aku dan dia pun berteman baik, layaknya aku dan Rian. Dari pertemanan itu pula aku mengetahui namanya, dia bernama “Rival”.  Aku, Rival, dan Rian berteman baik. Kemana – mana kami selalu bersama, setiap hari bertemu, setiap hari kami bermain bersama,  semakin hari hubungan kami pula bertambah erat. Mungkin hubungan kami sekarang sudah naik level menjadi “SAHABAT”. Tentang perasaan itu, entahlah…. Aku tak terlalu memikirkannya. Aku senang dengan hubungan kami saat ini, dan aku tak mau merusaknya.

Jam berlalu menjadi hari, hari berlalu menjadi bulan, bulan pun berlalu menjadi tahun. 2 tahun kami bermain bersama, 2 tahun kami melewati hari – hari bersama, itu bukan waktu yang singkat bukan? Bukan hal yang singkat pula untuk merasakan benih – benih itu… benih – benih yang sangat tak kkuharapkan kedatangannya. Karena aku tau, jika benih itu menumbuh banyak hal akan bertambah runyam.

Benar apa yang dikatakan para pujangga  terdahulu, “SETIAP PERTEMUAN PASTI ADA PERPISAHAN”, dan aku merasakannya sekarang.  Ya, hari ini tepat 2 Tahun 6 bulan 10 hari kami berasama, dia kembali ke tempat asalnya, kota kelahirannya. Dia berpamitan kepada ku dan Rian. Tak banyak kata – kata yang aku ucapkan, tak kuasa hati menahan kesedihan. Dia pergi, hilang, tanpa jejak, tanpa coretan. Yang di tinggalkannya hanya sebuah kalimat yang membuatku tak kuasa untuk melepaskannya.

1 hari sebelum kepulangannya, dia memberitahu ku sesuatu. Sesuatu itu sangat penting baginya, dan mungkin penting pula bagiku. Dia mengutarakan perasaanya kepada ku. Oh Tuhan, entah aku harus senang atau tidak. Aku tahu perasaan ku berbalas. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus berkata yang sebenarnya tentang perasaan ini ? Atau aku harus diam memendam ? aku terdiam, diam, membisu, taka da suara, tak ada gerakan. Diam  mematung. Dia memegang tanganku hangat. Sehangat butiran air yang mengalir melawati pipi ini. Dia kebingungan Kenapa aku menangis. Dia bertanya padaku, apakah yang dia katakan membuat ku terganggu? Oh Tuhan… tak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan selain tangisan. Dia menggenggam kedua tanganku dengan erat, erat sekali, hangat.  mungkin dia ingin memeluk ku, namun dia merasa tak enak padaku. Aku tak memperdulikan itu. Aku masih terdiam dalam tangis ku, namun Dia berbicara pada ku, apakah aku mau menunggunya sampai dia kembali ke kampung ini dan kelak dia akan meminangku ? lagi lagi taka da yang bisa ku ungkapkan. Aku berlari sekuatnya, entah kemana, yang pasti jauh dari dirinya. Dia tak mengejarku. Mungkin pikirnya aku membutuhkan waktu sendiri untuk menenangkan perasaan ku.

Andai dia tahu yang sebenarnya terjadi, sudah jauh - jauh hari Rian mengutarakan perasaanya kepadaku. Entah kenapa Rian mengatakan itu. Mungkin dia pun merasa ada yang berbeda antara aku dan Rival.  Dan dia takut aku lebih

Aku tak menjawab perasaan keduanya, bukan karena aku tak menghargai perasaan mereka. Aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka, hubungan kami tak akan seharmonis ini lagi.

Rival tak tahu jika Rian sudah terlebih dahulu mengutarakan perasaanya kepadaku jauh – jauh hari sebelum dirinya. Dan begitupun sebaliknya. Aku tak mau memberitahu keduanya. Aku takut hubungan ku dengan mereka akan kandas begitu saja hanya karena hal sebuah PERASAAN.

Aku menyadari perbuatanku salah, karena aku membuat Rival pulang dengan hati bertanya – tanya apakah cintanya berbalas terhadap ku. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa aku pun mencinta dia. Namun aku tak bisa. Tak bisa karena aku tak mau merusak hubungan kami. karena aku menyadari CINTA dan PERSAHABATAN itu bukan sesuatu untuk dipilih. Semuanya penting bagi  hidup ku.

Tentang persahabatan ini, semuanya kembali seperti semula sebelum Rival datang. Aku dan Rian masih sering keluar bersama – sama barang sejenak untuk mencari angin. Bahkan pergi ke kedai tempat aku pertama kali mellihat dirinya.
Tercium aroma wangi tanah kering tersiram hujan, menyerbak, menusuk hidung, menusuk kalbu. Entah mengapa, setiap hujan datang, aku merasa lain, senang, sedih, gundah, bahagia, entahlah. Tapi yang aku tau, saat hujan datang, berarti kenangan itu kembali lagi. Kenangan yang tak seharusnya ku ingat namun selalu terkenang dalam lubuk hati.
Saat itu musim penghujan, dedaunan basah, langit menghitam, tak ada cahaya, tak ada penghangat, taka ada apapun untuk menghangatkan dan menenangkan. Semuanya kelam. Menghitam. Berkabut. Dingin menusuk tulang. Tapi, dalam satu kesempatan, aku bsia merasakan kasih sayang, kehangatan.
Aku selalu senang saat hujan turun, itu berarti, aku bisa mengenang kisahku , mengenang kisahku bersamanya. Dia, lelaki yang ku puja, ku kasihi, dan namanya selalu ku lantunkan dalam setiap do’a – do’a ku.
Saat itu, tanggal yang selalu ku ingat 5 November 4 tahun silam,  tanggal dimana aku bertemunya pertama kali dibawah rinai hujan. Aku bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak pernah kuduga, namun aku tau Tuhan telah merencanakan ini semua. Saat aku berjalan di tengah derasnya huajan, aku melewati sebuah kedai makanan dan minuman hangat. Aku berniat mampir untuk sekedar minum susu jahe untuk menghangatkan tubuh barang sejenak. Saat aku sedang enak menikmati menu yang ku pesan tadi, ada seorang lelaki berparas tampan dan bertumbuh tegak masuk kedalam kedai sambil membawa tas beerukuran besar, aku pun tak bisa melepas pandangku dari dirinya. Bukan karena aku terpesona oleh ketampanannya, namun aku hanya merasa heran, siapa orang itu, sepertinya baru ku lihat, dan mengapa dia membawa tas berukuran besar. Karena merasa takut dengan orang itu, aku berusaha secepatnya menghabiskan susu jahe ku yang tersisa setengah gelas lagi. Setelah menghabiskan setengah gelas susu jahe tadi aku bersegera mengambil payung yang tadi kugunakan dan segera keluar. Namun sepertinya, dia menyadari gerak gerik ku. Saat aku hendak keluar, tiba – tiba dia berdiri di depan dan menghadang jalan ku, lalu dia berkata “ maaf nona, saya baru di kampung ini, saya ingin menemui teman saya, dia tinggal di alamat ini” (sambil menyodorkan secarik kertas lusuh karena terkena air hujan). Aku bingung bercampur kaget, “ ternyata dugaanku salah. Ku kira dia orang jahat yang memata – matai kampung ini “ pikir ku. Saat aku melamunkan dugaan ku yang tidak – tidak dia menyadarkan lamunan singkat ku dengan menpuk tangan ku. Aku terlonjak kaget, segera aku tersadar dan langsung  mengambil secarik kertas dari tangan pemuda itu. Aku membaca benar – benar alamat yang tertulis dalam kertas itu, untuk kesekian kalinya, aku terlonjak kaget. Ternyata alamat itu adalah alamat tetangga ku. Teman baik ku. Segera aku memberi tahunya jika aku tau tempat itu dimana dan langsung membawanya ke alamat itu. Semula dia takut untuk ikut dengan ku, namun saat aku menyebutkan nama “Rian” – nama teman baik ku -  dia langsung patuh dan ikut bersamaku. Sepanjang perjalan, tak banyak yang kami bicarakan, kami lebih banyak diam dengan pikiran masing – masing.
Sampai ditujuan kami. Aku langsung memanggil pemilik rumah. Rian  keluar. Setalah itu aku meninggalkannya bersama Rian, dan dia mengatakan “TERIMAKASIH” (sambil tersenyum). Entah apa arti senyuman itu, mungkin baginya itu hanya senyum ramah yang melantukan terimakasih yang tulus, namun bagiku, senyuman itu tak sekedar senyuman tanda terimakasih. Entah mengapa aku berfikiran sampai sejauh itu, padahal aku baru berjumpa dengan nya.
Hari berlalu, karena aku berteman baik denga Rian, aku dan dia pun berteman baik, layaknya aku dan Rian. Dari pertemanan itu pula aku mengetahui namanya, dia bernama “Rival”.  Aku, Rival, dan Rian berteman baik. Kemana – mana kami selalu bersama, setiap hari bertemu, setiap hari kami bermain bersama,  semakin hari hubungan kami pula bertambah erat. Mungkin hubungan kami sekarang sudah naik level menjadi “SAHABAT”. Tentang perasaan itu, entahlah…. Aku tak terlalu memikirkannya. Aku senang dengan hubungan kami saat ini, dan aku tak mau merusaknya.
Jam berlalu menjadi hari, hari berlalu menjadi bulan, bulan pun berlalu menjadi tahun. 2 tahun kami bermain bersama, 2 tahun kami melewati hari – hari bersama, itu bukan waktu yang singkat bukan? Bukan hal yang singkat pula untuk merasakan benih – benih itu… benih – benih yang sangat tak kkuharapkan kedatangannya. Karena aku tau, jika benih itu menumbuh banyak hal akan bertambah runyam.
Benar apa yang dikatakan para pujangga  terdahulu, “SETIAP PERTEMUAN PASTI ADA PERPISAHAN”, dan aku merasakannya sekarang.  Ya, hari ini tepat 2 Tahun 6 bulan 10 hari kami berasama, dia kembali ke tempat asalnya, kota kelahirannya. Dia berpamitan kepada ku dan Rian. Tak banyak kata – kata yang aku ucapkan, tak kuasa hati menahan kesedihan. Dia pergi, hilang, tanpa jejak, tanpa coretan. Yang di tinggalkannya hanya sebuah kalimat yang membuatku tak kuasa untuk melepaskannya.
1 hari sebelum kepulangannya, dia memberitahu ku sesuatu. Sesuatu itu sangat penting baginya, dan mungkin penting pula bagiku. Dia mengutarakan perasaanya kepada ku. Oh Tuhan, entah aku harus senang atau tidak. Aku tahu perasaan ku berbalas. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus berkata yang sebenarnya tentang perasaan ini ? Atau aku harus diam memendam ? aku terdiam, diam, membisu, taka da suara, tak ada gerakan. Diam  mematung. Dia memegang tanganku hangat. Sehangat butiran air yang mengalir melawati pipi ini. Dia kebingungan Kenapa aku menangis. Dia bertanya padaku, apakah yang dia katakan membuat ku terganggu? Oh Tuhan… tak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan selain tangisan. Dia menggenggam kedua tanganku dengan erat, erat sekali, hangat.  mungkin dia ingin memeluk ku, namun dia merasa tak enak padaku. Aku tak memperdulikan itu. Aku masih terdiam dalam tangis ku, namun Dia berbicara pada ku, apakah aku mau menunggunya sampai dia kembali ke kampung ini dan kelak dia akan meminangku ? lagi lagi taka da yang bisa ku ungkapkan. Aku berlari sekuatnya, entah kemana, yang pasti jauh dari dirinya. Dia tak mengejarku. Mungkin pikirnya aku membutuhkan waktu sendiri untuk menenangkan perasaan ku.
Andai dia tahu yang sebenarnya terjadi, sudah jauh - jauh hari Rian mengutarakan perasaanya kepadaku. Entah kenapa Rian mengatakan itu. Mungkin dia pun merasa ada yang berbeda antara aku dan Rival.  Dan dia takut aku lebih dahulu dimiliki oleh Rival.
Aku tak menjawab perasaan keduanya, bukan karena aku tak menghargai perasaan mereka. Aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka, hubungan kami tak akan seharmonis ini lagi.
Rival tak tahu jika Rian sudah terlebih dahulu mengutarakan perasaanya kepadaku jauh – jauh hari sebelum dirinya. Dan begitupun sebaliknya. Aku tak mau memberitahu keduanya. Aku takut hubungan ku dengan mereka akan kandas begitu saja hanya karena hal sebuah PERASAAN.
Aku menyadari perbuatanku salah, karena aku membuat Rival pulang dengan hati bertanya – tanya apakah cintanya berbalas terhadap ku. Aku ingin mengatakan yang sebenarnya bahwa aku pun mencinta dia. Namun aku tak bisa. Tak bisa karena aku tak mau merusak hubungan kami. karena aku menyadari CINTA dan PERSAHABATAN itu bukan sesuatu untuk dipilih. Semuanya penting bagi  hidup ku.
Tentang persahabatan ini, semuanya kembali seperti semula sebelum Rival datang. Aku dan Rian masih sering keluar bersama – sama barang sejenak untuk mencari angin. Bahkan pergi ke kedai tempat aku pertama kali mellihat dirinya.

Waktu berlalu, aku merindukannya. Merindukan sosoknya, merindukan tingkah dan senyumannya. Aku selalu senang saat hujan turun, karena setiap hujan turun aku selalu berharap dia pun kembali seperti hujan yang akan selalu turun pada musimnya. Saat aku merindukannya, aku selalu pergi ke kedai tempat  makanan dan minuman hangat itu. Berharap sosoknya kembali. Namun harapan tetap saja harapan. Aku hanya bisa menitip salam dan rindu ku lewat rinai hujan di balik jendela. Berharap angin dan tetesan hujan menyampaikan rasa rinduku kepadanya. kepada dia, yang entah dimana rimbanya. Yang entah masih memiliki perasaan itu atau tidak, aku tak perduli.  Yang aku perdulikan tak lain adalah keadaanya, apakah dia baik – baik saja dan masih mengingat ku dan Rian, mengingat PERSAHABATAN kita, mengingat cerita – cerita kita dahulu dan mengingat semua yang telah kita leawti. Itu yang lebih aku perdulikan dibanding apapun. Semoga dia mengingatnya……

hujaaaaaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar