Tercium
aroma wangi tanah kering tersiram hujan, menyerbak, menusuk hidung, menusuk
kalbu. Entah mengapa, setiap hujan datang, aku merasa lain, senang, sedih,
gundah, bahagia, entahlah. Tapi yang aku tau, saat hujan datang, berarti
kenangan itu kembali lagi. Kenangan yang tak seharusnya ku ingat namun selalu
terkenang dalam lubuk hati.
Saat itu
musim penghujan, dedaunan basah, langit menghitam, tak ada cahaya, tak ada
penghangat, taka ada apapun untuk menghangatkan dan menenangkan. Semuanya kelam.
Menghitam. Berkabut. Dingin menusuk tulang. Tapi, dalam satu kesempatan, aku
bsia merasakan kasih sayang, kehangatan.
Aku selalu
senang saat hujan turun, itu berarti, aku bisa mengenang kisahku , mengenang
kisahku bersamanya. Dia, lelaki yang ku puja, ku kasihi, dan namanya selalu ku
lantunkan dalam setiap do’a – do’a ku.
Saat itu,
tanggal yang selalu ku ingat 5 November 4 tahun silam, tanggal dimana aku bertemunya pertama kali
dibawah rinai hujan. Aku bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak pernah kuduga,
namun aku tau Tuhan telah merencanakan ini semua. Saat aku berjalan di tengah
derasnya huajan, aku melewati sebuah kedai makanan dan minuman hangat. Aku
berniat mampir untuk sekedar minum susu jahe untuk menghangatkan tubuh barang
sejenak. Saat aku sedang enak menikmati menu yang ku pesan tadi, ada seorang
lelaki berparas tampan dan bertumbuh tegak masuk kedalam kedai sambil membawa
tas beerukuran besar, aku pun tak bisa melepas pandangku dari dirinya. Bukan
karena aku terpesona oleh ketampanannya, namun aku hanya merasa heran, siapa
orang itu, sepertinya baru ku lihat, dan mengapa dia membawa tas berukuran
besar. Karena merasa takut dengan orang itu, aku berusaha secepatnya
menghabiskan susu jahe ku yang tersisa setengah gelas lagi. Setelah menghabiskan
setengah gelas susu jahe tadi aku bersegera mengambil payung yang tadi
kugunakan dan segera keluar. Namun sepertinya, dia menyadari gerak gerik ku.
Saat aku hendak keluar, tiba – tiba dia berdiri di depan dan menghadang jalan
ku, lalu dia berkata “ maaf nona, saya baru di kampung ini, saya ingin menemui
teman saya, dia tinggal di alamat ini” (sambil
menyodorkan secarik kertas lusuh karena terkena air hujan). Aku bingung
bercampur kaget, “ ternyata dugaanku salah. Ku kira dia orang jahat yang memata
– matai kampung ini “ pikir ku. Saat aku melamunkan dugaan ku yang tidak –
tidak dia menyadarkan lamunan singkat ku dengan menpuk tangan ku. Aku terlonjak
kaget, segera aku tersadar dan langsung
mengambil secarik kertas dari tangan pemuda itu. Aku membaca benar –
benar alamat yang tertulis dalam kertas itu, untuk kesekian kalinya, aku
terlonjak kaget. Ternyata alamat itu adalah alamat tetangga ku. Teman baik ku.
Segera aku memberi tahunya jika aku tau tempat itu dimana dan langsung membawanya
ke alamat itu. Semula dia takut untuk ikut dengan ku, namun saat aku
menyebutkan nama “Rian” – nama teman baik
ku - dia langsung patuh dan ikut
bersamaku. Sepanjang perjalan, tak banyak yang kami bicarakan, kami lebih
banyak diam dengan pikiran masing – masing.
Sampai
ditujuan kami. Aku langsung memanggil pemilik rumah. Rian keluar. Setalah itu aku meninggalkannya
bersama Rian, dan dia mengatakan “TERIMAKASIH” (sambil tersenyum). Entah apa arti senyuman itu, mungkin baginya
itu hanya senyum ramah yang melantukan terimakasih yang tulus, namun bagiku,
senyuman itu tak sekedar senyuman tanda terimakasih. Entah mengapa aku
berfikiran sampai sejauh itu, padahal aku baru berjumpa dengan nya.
Hari
berlalu, karena aku berteman baik denga Rian, aku dan dia pun berteman baik,
layaknya aku dan Rian. Dari pertemanan itu pula aku mengetahui namanya, dia
bernama “Rival”. Aku, Rival, dan Rian
berteman baik. Kemana – mana kami selalu bersama, setiap hari bertemu, setiap
hari kami bermain bersama, semakin hari
hubungan kami pula bertambah erat. Mungkin hubungan kami sekarang sudah naik level
menjadi “SAHABAT”. Tentang perasaan itu, entahlah…. Aku tak terlalu
memikirkannya. Aku senang dengan hubungan kami saat ini, dan aku tak mau
merusaknya.
Jam berlalu
menjadi hari, hari berlalu menjadi bulan, bulan pun berlalu menjadi tahun. 2
tahun kami bermain bersama, 2 tahun kami melewati hari – hari bersama, itu
bukan waktu yang singkat bukan? Bukan hal yang singkat pula untuk merasakan
benih – benih itu… benih – benih yang sangat tak kkuharapkan kedatangannya.
Karena aku tau, jika benih itu menumbuh banyak hal akan bertambah runyam.
Benar apa yang dikatakan para pujangga
terdahulu, “SETIAP PERTEMUAN PASTI ADA PERPISAHAN”, dan aku merasakannya
sekarang. Ya, hari ini tepat 2 Tahun 6
bulan 10 hari kami berasama, dia kembali ke tempat asalnya, kota kelahirannya.
Dia berpamitan kepada ku dan Rian. Tak banyak kata – kata yang aku ucapkan, tak
kuasa hati menahan kesedihan. Dia pergi, hilang, tanpa jejak, tanpa coretan.
Yang di tinggalkannya hanya sebuah kalimat yang membuatku tak kuasa untuk
melepaskannya.
1 hari sebelum kepulangannya, dia memberitahu ku sesuatu. Sesuatu itu
sangat penting baginya, dan mungkin penting pula bagiku. Dia mengutarakan
perasaanya kepada ku. Oh Tuhan, entah aku harus senang atau tidak. Aku tahu
perasaan ku berbalas. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus
berkata yang sebenarnya tentang perasaan ini ? Atau aku harus diam memendam ?
aku terdiam, diam, membisu, taka da suara, tak ada gerakan. Diam mematung. Dia memegang tanganku hangat.
Sehangat butiran air yang mengalir melawati pipi ini. Dia kebingungan Kenapa
aku menangis. Dia bertanya padaku, apakah yang dia katakan membuat ku
terganggu? Oh Tuhan… tak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan selain tangisan.
Dia menggenggam kedua tanganku dengan erat, erat sekali, hangat. mungkin dia ingin memeluk ku, namun dia merasa
tak enak padaku. Aku tak memperdulikan itu. Aku masih terdiam dalam tangis ku,
namun Dia berbicara pada ku, apakah aku mau menunggunya sampai dia kembali ke
kampung ini dan kelak dia akan meminangku ? lagi lagi taka da yang bisa ku
ungkapkan. Aku berlari sekuatnya, entah kemana, yang pasti jauh dari dirinya.
Dia tak mengejarku. Mungkin pikirnya aku membutuhkan waktu sendiri untuk
menenangkan perasaan ku.
Andai dia tahu yang sebenarnya terjadi, sudah jauh - jauh hari Rian mengutarakan
perasaanya kepadaku. Entah kenapa Rian mengatakan itu. Mungkin dia pun merasa
ada yang berbeda antara aku dan Rival.
Dan dia takut aku lebih
Aku tak menjawab perasaan keduanya, bukan karena aku tak menghargai
perasaan mereka. Aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka,
hubungan kami tak akan seharmonis ini lagi.
Rival tak tahu jika Rian sudah terlebih dahulu mengutarakan perasaanya
kepadaku jauh – jauh hari sebelum dirinya. Dan begitupun sebaliknya. Aku tak
mau memberitahu keduanya. Aku takut hubungan ku dengan mereka akan kandas
begitu saja hanya karena hal sebuah PERASAAN.
Aku menyadari perbuatanku salah, karena aku membuat Rival pulang
dengan hati bertanya – tanya apakah cintanya berbalas terhadap ku. Aku ingin
mengatakan yang sebenarnya bahwa aku pun mencinta dia. Namun aku tak bisa. Tak
bisa karena aku tak mau merusak hubungan kami. karena aku menyadari CINTA dan
PERSAHABATAN itu bukan sesuatu untuk dipilih. Semuanya penting bagi hidup ku.
Tentang persahabatan ini, semuanya kembali seperti semula sebelum
Rival datang. Aku dan Rian masih sering keluar bersama – sama barang sejenak
untuk mencari angin. Bahkan pergi ke kedai tempat aku pertama kali mellihat
dirinya.
Tercium
aroma wangi tanah kering tersiram hujan, menyerbak, menusuk hidung, menusuk
kalbu. Entah mengapa, setiap hujan datang, aku merasa lain, senang, sedih,
gundah, bahagia, entahlah. Tapi yang aku tau, saat hujan datang, berarti
kenangan itu kembali lagi. Kenangan yang tak seharusnya ku ingat namun selalu
terkenang dalam lubuk hati.
Saat itu
musim penghujan, dedaunan basah, langit menghitam, tak ada cahaya, tak ada
penghangat, taka ada apapun untuk menghangatkan dan menenangkan. Semuanya kelam.
Menghitam. Berkabut. Dingin menusuk tulang. Tapi, dalam satu kesempatan, aku
bsia merasakan kasih sayang, kehangatan.
Aku selalu
senang saat hujan turun, itu berarti, aku bisa mengenang kisahku , mengenang
kisahku bersamanya. Dia, lelaki yang ku puja, ku kasihi, dan namanya selalu ku
lantunkan dalam setiap do’a – do’a ku.
Saat itu,
tanggal yang selalu ku ingat 5 November 4 tahun silam, tanggal dimana aku bertemunya pertama kali
dibawah rinai hujan. Aku bertemu dengannya tanpa sengaja dan tak pernah kuduga,
namun aku tau Tuhan telah merencanakan ini semua. Saat aku berjalan di tengah
derasnya huajan, aku melewati sebuah kedai makanan dan minuman hangat. Aku
berniat mampir untuk sekedar minum susu jahe untuk menghangatkan tubuh barang
sejenak. Saat aku sedang enak menikmati menu yang ku pesan tadi, ada seorang
lelaki berparas tampan dan bertumbuh tegak masuk kedalam kedai sambil membawa
tas beerukuran besar, aku pun tak bisa melepas pandangku dari dirinya. Bukan
karena aku terpesona oleh ketampanannya, namun aku hanya merasa heran, siapa
orang itu, sepertinya baru ku lihat, dan mengapa dia membawa tas berukuran
besar. Karena merasa takut dengan orang itu, aku berusaha secepatnya
menghabiskan susu jahe ku yang tersisa setengah gelas lagi. Setelah menghabiskan
setengah gelas susu jahe tadi aku bersegera mengambil payung yang tadi
kugunakan dan segera keluar. Namun sepertinya, dia menyadari gerak gerik ku.
Saat aku hendak keluar, tiba – tiba dia berdiri di depan dan menghadang jalan
ku, lalu dia berkata “ maaf nona, saya baru di kampung ini, saya ingin menemui
teman saya, dia tinggal di alamat ini” (sambil
menyodorkan secarik kertas lusuh karena terkena air hujan). Aku bingung
bercampur kaget, “ ternyata dugaanku salah. Ku kira dia orang jahat yang memata
– matai kampung ini “ pikir ku. Saat aku melamunkan dugaan ku yang tidak –
tidak dia menyadarkan lamunan singkat ku dengan menpuk tangan ku. Aku terlonjak
kaget, segera aku tersadar dan langsung
mengambil secarik kertas dari tangan pemuda itu. Aku membaca benar –
benar alamat yang tertulis dalam kertas itu, untuk kesekian kalinya, aku
terlonjak kaget. Ternyata alamat itu adalah alamat tetangga ku. Teman baik ku.
Segera aku memberi tahunya jika aku tau tempat itu dimana dan langsung membawanya
ke alamat itu. Semula dia takut untuk ikut dengan ku, namun saat aku
menyebutkan nama “Rian” – nama teman baik
ku - dia langsung patuh dan ikut
bersamaku. Sepanjang perjalan, tak banyak yang kami bicarakan, kami lebih
banyak diam dengan pikiran masing – masing.
Sampai
ditujuan kami. Aku langsung memanggil pemilik rumah. Rian keluar. Setalah itu aku meninggalkannya
bersama Rian, dan dia mengatakan “TERIMAKASIH” (sambil tersenyum). Entah apa arti senyuman itu, mungkin baginya
itu hanya senyum ramah yang melantukan terimakasih yang tulus, namun bagiku,
senyuman itu tak sekedar senyuman tanda terimakasih. Entah mengapa aku
berfikiran sampai sejauh itu, padahal aku baru berjumpa dengan nya.
Hari
berlalu, karena aku berteman baik denga Rian, aku dan dia pun berteman baik,
layaknya aku dan Rian. Dari pertemanan itu pula aku mengetahui namanya, dia
bernama “Rival”. Aku, Rival, dan Rian
berteman baik. Kemana – mana kami selalu bersama, setiap hari bertemu, setiap
hari kami bermain bersama, semakin hari
hubungan kami pula bertambah erat. Mungkin hubungan kami sekarang sudah naik level
menjadi “SAHABAT”. Tentang perasaan itu, entahlah…. Aku tak terlalu
memikirkannya. Aku senang dengan hubungan kami saat ini, dan aku tak mau
merusaknya.
Jam berlalu
menjadi hari, hari berlalu menjadi bulan, bulan pun berlalu menjadi tahun. 2
tahun kami bermain bersama, 2 tahun kami melewati hari – hari bersama, itu
bukan waktu yang singkat bukan? Bukan hal yang singkat pula untuk merasakan
benih – benih itu… benih – benih yang sangat tak kkuharapkan kedatangannya.
Karena aku tau, jika benih itu menumbuh banyak hal akan bertambah runyam.
Benar apa yang dikatakan para pujangga
terdahulu, “SETIAP PERTEMUAN PASTI ADA PERPISAHAN”, dan aku merasakannya
sekarang. Ya, hari ini tepat 2 Tahun 6
bulan 10 hari kami berasama, dia kembali ke tempat asalnya, kota kelahirannya.
Dia berpamitan kepada ku dan Rian. Tak banyak kata – kata yang aku ucapkan, tak
kuasa hati menahan kesedihan. Dia pergi, hilang, tanpa jejak, tanpa coretan.
Yang di tinggalkannya hanya sebuah kalimat yang membuatku tak kuasa untuk
melepaskannya.
1 hari sebelum kepulangannya, dia memberitahu ku sesuatu. Sesuatu itu
sangat penting baginya, dan mungkin penting pula bagiku. Dia mengutarakan
perasaanya kepada ku. Oh Tuhan, entah aku harus senang atau tidak. Aku tahu
perasaan ku berbalas. Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan. Apa aku harus
berkata yang sebenarnya tentang perasaan ini ? Atau aku harus diam memendam ?
aku terdiam, diam, membisu, taka da suara, tak ada gerakan. Diam mematung. Dia memegang tanganku hangat.
Sehangat butiran air yang mengalir melawati pipi ini. Dia kebingungan Kenapa
aku menangis. Dia bertanya padaku, apakah yang dia katakan membuat ku
terganggu? Oh Tuhan… tak ada lagi kata yang bisa aku ucapkan selain tangisan.
Dia menggenggam kedua tanganku dengan erat, erat sekali, hangat. mungkin dia ingin memeluk ku, namun dia merasa
tak enak padaku. Aku tak memperdulikan itu. Aku masih terdiam dalam tangis ku,
namun Dia berbicara pada ku, apakah aku mau menunggunya sampai dia kembali ke
kampung ini dan kelak dia akan meminangku ? lagi lagi taka da yang bisa ku
ungkapkan. Aku berlari sekuatnya, entah kemana, yang pasti jauh dari dirinya.
Dia tak mengejarku. Mungkin pikirnya aku membutuhkan waktu sendiri untuk
menenangkan perasaan ku.
Andai dia tahu yang sebenarnya terjadi, sudah jauh - jauh hari Rian mengutarakan
perasaanya kepadaku. Entah kenapa Rian mengatakan itu. Mungkin dia pun merasa
ada yang berbeda antara aku dan Rival.
Dan dia takut aku lebih dahulu dimiliki oleh Rival.
Aku tak menjawab perasaan keduanya, bukan karena aku tak menghargai
perasaan mereka. Aku hanya takut jika aku memilih salah satu diantara mereka,
hubungan kami tak akan seharmonis ini lagi.
Rival tak tahu jika Rian sudah terlebih dahulu mengutarakan perasaanya
kepadaku jauh – jauh hari sebelum dirinya. Dan begitupun sebaliknya. Aku tak
mau memberitahu keduanya. Aku takut hubungan ku dengan mereka akan kandas
begitu saja hanya karena hal sebuah PERASAAN.
Aku menyadari perbuatanku salah, karena aku membuat Rival pulang
dengan hati bertanya – tanya apakah cintanya berbalas terhadap ku. Aku ingin
mengatakan yang sebenarnya bahwa aku pun mencinta dia. Namun aku tak bisa. Tak
bisa karena aku tak mau merusak hubungan kami. karena aku menyadari CINTA dan
PERSAHABATAN itu bukan sesuatu untuk dipilih. Semuanya penting bagi hidup ku.
Tentang persahabatan ini, semuanya kembali seperti semula sebelum
Rival datang. Aku dan Rian masih sering keluar bersama – sama barang sejenak
untuk mencari angin. Bahkan pergi ke kedai tempat aku pertama kali mellihat
dirinya.
Waktu berlalu, aku merindukannya. Merindukan sosoknya, merindukan
tingkah dan senyumannya. Aku selalu senang saat hujan turun, karena setiap
hujan turun aku selalu berharap dia pun kembali seperti hujan yang akan selalu
turun pada musimnya. Saat aku merindukannya, aku selalu pergi ke kedai
tempat makanan dan minuman hangat itu.
Berharap sosoknya kembali. Namun harapan tetap saja harapan. Aku hanya bisa
menitip salam dan rindu ku lewat rinai hujan di balik jendela. Berharap angin
dan tetesan hujan menyampaikan rasa rinduku kepadanya. kepada dia, yang entah
dimana rimbanya. Yang entah masih memiliki perasaan itu atau tidak, aku tak
perduli. Yang aku perdulikan tak lain
adalah keadaanya, apakah dia baik – baik saja dan masih mengingat ku dan Rian,
mengingat PERSAHABATAN kita, mengingat cerita – cerita kita dahulu dan
mengingat semua yang telah kita leawti. Itu yang lebih aku perdulikan dibanding
apapun. Semoga dia mengingatnya……
![]() |
| hujaaaaaan |

Tidak ada komentar:
Posting Komentar